"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
(QS. Ar Rum: 21)
Rumah merupakan kebutuhan yang didambakan oleh setiap insan. Di sanalah tempat mereka bercengkrama bersama keluarga, melepas kepenatan dan permasalahan hidup, membina isteri dan anak-anak. Di sanalah tempat seseorang bersembunyi dari aib diri dan keluarga, menjaga diri dari panas dan hujan, menghindarkan keluarga dari mara bahaya. Dan disanalah tempat seseorang menumpahkan segala kebutuhan dan memperoleh kebahagiaan.
Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anak-anak, cucu-cicit atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan, ; ketenteraman, kerinduan, keharuan, semangat dan pengorbanan,semuanya berlabuh di lembaga yang bernama keluarga. Sacara alamiah, ikatan kekeluargaan memiliki nilai kesucian. Karenanya, menikah merupakan fitrah pada setiap manusia. Bukan hanya sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan mempunyai keturunan, tetapi juga untuk mencapai kebahagiaan baik dunia maupun akhirat.
Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar yang merupakan konsep dari bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan dalam wujud bangunan itu.
Demikian juga membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki konsep tentang keluarga bahagia. Banyak kriteria yang disusun orang untuk menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga dengan tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang pendidikannya tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu makna. Demikian juga pangan bukan sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada “selera” non gizi yang menjadi konsepnya. Demikian seterusnya tempat tinggal (papan) , kendaraan, perabotan bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna budaya. Secara sosiologis pesikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga dipandang sebagai parameter kebahagiaan.
Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, isteri bukan sekedar perempuan pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami bukan sekedar lelaki, tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertikal. Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di jalanan, dengan siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan. Hubungan seksual dengan perselingkuhan mungkin bisa memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan psikologis.
Konsep keluarga bahagia yang Islami, biasanya disebut dengan istilah Keluarga Sakinah, keluarga yang bahagia, penuh dengan limpahan rahmat, kasih dan sayang. Untuk mencapai tujuan itu ada beberapa hal yang patut dan seharusnya menjadi perhatian setiap orang yang ingin membina keluarga untuk mendapatkan sakinah, mawadah wa rahmah, antara lain:
1. Rumah yang di dalamnya senantiasa dihidupkan ibadah kepada Allah subhanahu wata'aala dan terhindar dari perbuatan syirik. Ikhlas dan jauh dari riya’ (mengharap pujian orang). Karena Allah subhanahu wata'aala memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya untuk beribadah, menyembah dan menauhidkanNya dan menjauhi perbuatan syirik. Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku".(QS. adz-Dzariyat: 56). Dalam ayat yang lain, artinya, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun". (QS. an-Nisaa`: 36). Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam juga bersabda dalam hadits qudsi, “Aku tidak butuh terhadap sekutu-sekutu, barangsiapa beramal suatu amalan ia menyekutukan Aku dengan selain diri-Ku (dalam amalnya tersebut) maka pasti Aku tinggalkan dirinya dan sekutunya". (HR. Muslim)
2. Rumah yang di dalamnya terdapat amal ibadah yang berdasarkan ittiba` (mengikuti petunjuk rasul shallallahu 'alahi wasallam) dan terhindar dari perbuatan bid`ah (amal ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam).
Firman Allah subhanahu wata'aala, artinya, "Katakanlah, “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".(QS. Ali Imran: 31).
Dalam ayat yang lain, artinya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". (QS. an-Nur: 63).
Demikian pula Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat beliau bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Siapa yang mentaati aku pasti masuk surga dan siapa yang membangkang tidak mentaati aku sungguh ia telah enggan untuk (masuk surga).” (HR. al-Bukhari)
Dalam sabda beliau yang lain, "Siapa yang mengada-adakan (suatu perbuatan) di dalam agama kami ini yang tidak termasuk darinya, maka ia tertolak". (Muttafaqun `alaih)
3. Rumah yang berdiri diatas ketaqwaan kepada Allah, dengan tujuan membentuk sebuah keluarga yang sakinah (tentram), mawaddah (saling mencintai) dan rahmah (saling mengasihi). Hal itu juga merupakan tujuan pokok terjalinnya 'mitsaaqan ghalizha' (perjanjian yang kuat) antara kaum Adam dan Hawa.
4. Rumah yang didalamnya senantiasa memberikan perhatian utama terhadap urusan shalat, membaca al-Qur`an, zikrullah, tasbih, tahmid ataupun tahlil, doa-doa ataupun dzikir-dzikir yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, seperti keluar dan masuk rumah, makan, mau tidur dan bangunnya, memakai pakaian ataupun lainnya. Demikian pula senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah terutama di waktu-waktu yang mustajab, qiyamul lail, dan bentuk ibadah-ibadah yang lain.
Beberapa hal di atas adalah sedikit dari berbagai macam kewajiban yang harus diperhatikan agar kehidupan rumah tangga seseorang menjadi keluarga yang bahagia, yang nantinya akan mengantarkan ke kebahagiaan abadi yakni kebahagiaan hidup di akhirat.
Sumber: Disadur dari artikel berjudul "Jawanib at-Tamayyuz Fi Baitil-Muslim", DR. Ahmad bin Utsman al-Mazid dan DR. Adil bin Ali asy-Syuddi.
Ibnu Khalid berpendapat bahagia itu adalah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah SWT.
www.info-iman.blogspot.com